About Us

Foto saya
Bersih, Peduli, Profesional

Sabtu, 22 November 2008

MEMBANGUN KELUARGA MENCINTAI ISLAM DAN DAKWAH

Materi Taskif Dakwah Keluarga
Oleh: E. Wibowo

Ada prinsip yang mengatakan bahwa dibalik keberhasilan sejati seorang tokoh terdapat sebuah keluarga yang menopangnya. Prinsip ini sulit dinafikan apabila kita melihat kenyataan fitrah bahwa setiap individu mesti berkeluarga. Keluarga yang dimiliki seseorang ibarat tiang penyangga bangunan keberhasilannya. Jika tiang tersebut runtuh, maka keberhasilan yang diperolehnya akan berangsur runtuh namun jika tiang itu mampu menopang selama mungkin, maka keberhasilannya itupun akan terus berlangsung. Banyak contoh di dunia ini yang memperlihatkan hal demikian.

Banyak para penguasa negara di dunia ini yang runtuh kekuasaannya ketika keluarga yang dimilikinya tidak lagi mampu menopang keberhasilannya. Sebut misalnya penguasa yang hancur karena anak-anak yang dimilikinya merusak kekuasaannya atau penguasa yang hancur karena keretakan rumah tangganya dan sebagainya.
Menyadari kenyataan tersebut, seorang yang ingin memperoleh keberhasilan dan ingin berhasil memeliharanya mau tidak mau harus dapat membangun basis keluarganya dengan sebaik-baiknya. Begitupun seorang da’I yang tugas utamanya adalah melakukan amar ma’ruf nahi munkar kepada seluruh manusia perlu membangun basis keluarga ini dengan sebaik mungkin. Fokus dakwah yang kerap terbelah pada da’I-da’I yang tergolong da’I sepuluh umat, seratus umat hingga da’I sejuta umat adalah bahwa mereka sering lebih berhasil menyadarkan banyak orang tapi gagal dalam mendakwahi keluarganya sendiri. Jika keadaan ini berlanjut terus maka dampaknya orang akan berangsur-angsur meninggalkan dakwahnya ketika mulai terkuak bahwa keluarga sang da’I tersebut ternyata tidak mencerminkan dakwah yang dibawanya.
Ajaran Islam sebagai sebuah dienul fitrah memandang besar persoalan dakwah keluarga ini, sama besarnya dengan persoalan dakwah kepada yang lainnya. Bahkan ketika seruan kepada obyek dakwah yang lainnya masih menggunakan kata yang umum berupa ‘amar ma’ruf nahi munkar’, maka seruan kepada da’wah keluarga langsung mengarah pada sasaran akhirnya yaitu ‘memelihara dari api neraka’ sebagaimana Allah SWT nyatakan :

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (QS At Tahrim : 6)

Ibnu Katsir ketika menjelaskan ayat di atas menukil atsar : dari Sufyan At Tsauri ra yang menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib ra berkata bahwa pemeliharaan keluarga itu dilakukan dengan mendidik akhlak/adab dan pengetahuan keluarga.

Untuk memahami besarnya peran keluarga dalam dakwah maka kita bisa melihat ketika Rosulullah SAW pertama kali mendapat wahyu dari Allah SWT di Gua Hira beliau bergegas kembali ke rumahnya dan mengabarkan keadaanya kepada isteri beliau Khadijah ra. Dalam siroh kita mengetahui Khadijah ra dapat membesarkan hati Rosulullah untuk mengemban dakwah ketika itu dengan perkataannya :

“Bergembiralah dan tabahkanlah hatimu. Demi Dia yang memegang hidupku, aku berharap kiranya engkau akan menjadi nabi atas umat ini. Sama sekali Allah tidak akan mencemoohmu sebab engkaulah yang menyambung silaturahim, jujur, mau memikul beban orang lain, menghormati tamu, dan menolong mereka yang dalam kesulitan.”

Al Qur’an secara variatif juga menjelaskan dinamika dakwah para rosul kepada keluarga mereka masing-masing dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Hal ini setidaknya mengingatkan kepada kita bahwa (1) dakwah keluarga adalah satu prioritas di antara prioritas lainnya, dan (2) perlu upaya keras dan sungguh-sungguh melaksanakan dakwah keluarga karena peluang ketidakberhasilanpun terjadi di kalangan para suri tauladan dakwah itu sendiri (atas kehendak Allah SWT). Di antara yang dikisahkan Al Qur’an antara lain adalah dakwah keluarga Nabi Ibrahim as (QS 37/101-102), Nuh as (QS 11/42-43), Luth as (QS 11/80-81), dsb.
Satu urgensi dakwah keluarga yang tidak boleh juga dilupakan dalam dakwah adalah bahwa da’wah kepada keluarga adalah tahapan da’wah ke dua dari lima tahapan dakwah Ikhwan (pribadi, keluarga, masyarakat, negara dan dunia). Asholah dakwah atau abjadiyah da’wah mengharuskan kita menempuh tahapan dakwah keluarga sebelum menempuh tahapan-tahapan yang lain jika kita menginginkan dakwah tersebut mencapai keberhasilan. Satu contoh perjalanan dakwah yang menggambarkan kebutuhan akan kekuatan dakwah keluarga adalah ketika hampir ribuan ikhwah pada tahun 1948 ditahan di penjara-penjara Mesir seperti Ath-Thur dan Haiktasab hingga hanya menyisakan Hasan Al Banna seorang di luar penjara karena sengaja dibuat demikian. Kita tidak mendengar adanya keluhan dari keluarga-keluarga ikhwah ketika mereka satu per satu didatangi oleh Al Banna untuk membesarkan hati mereka. Peristiwa yang lebih besar bahkan juga pernah terjadi di zaman Rosulullah ketika para keluarga yang ditinggal syahid suami dan bapak mereka dalam peristiwa pembantaian 40 hufadz di Bir’ul Ma’unnah (625 M) tidak sekalipun mengajukan protes kepada Rosulullah SAW.

PENGOKOHAN KELUARGA INTI

Jika kita fahami urgensi dakwah keluarga seperti diuraikan di atas, maka target pertama dari dakwah keluarga adalah menciptakan keluarga inti yang kokoh (suami/istri dan anak-anak). Sasaran dari pengokohan keluarga inti adalah terbentuknya Mana’ah Islamiyah (daya tahan Islami) dalam menghadapi berbagai goncangan dan fitnah dunia. Tentu saja langkah ke arah tersebut adalah dengan pertama kali masing-masing anggota keluarga terlibat dalam tarbiyah Islamiyah.
“Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi rumah tangga, maka diberikan kecenderungan mempelajari agama, yang muda menghormati yang tua, dicukupkan rizkinya dalam kehidupan, sederhana dalam kehidupan, mampu melihat kekurangan dan kemudian bertaubat. Jika Allah menghendaki yang sebaliknya, maka dibiarkannya keluarga itu dalam kesesatan.” (HR Ad Dailami)

Setelah tarbiyah dalam keluarga, maka secara garis besar pengokohan keluarga itu dilakukan dengan mengusung agenda-agenda pengokohan yang antara lain berupa :

AGENDA 1 : MENGOKOHKAN HUBUNGAN SUAMI DAN ISTRI

Aktor utama dalam keluarga adalah suami dan istri. Secara fungsional keduanya adalah dwitunggal yang sama-sama memiliki tugas dengan bobot tanggungjawab yang sama. Perbedaannya adalah secara struktural, sang suami memiliki wewenang yang lebih dibanding sang istri dalam hal misalnya wewenang untuk pengambilan keputusan sangat penting dalam keluarga. Inilah yang dijelaskan Al Qur’an :
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta`at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). (QS 4/34)
Membangun hubungan suami dan istri yang baik adalah kewajiban yang diutamakan dalam Islam. Begitu pentingnya persoalan ini hingga Rosulullah dalam hadits bersabda :

“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah mukmin yang paling baik perangainya. Dan orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya.” (HR Turmudzi)
Kendala yang kerap terjadi dalam pengokohan hubungan suami dan istri adalah dalam hal komunikasi. Salah satu faktor penyebab keretakan rumah tangga adalah persoalan komunikasi ini. Faktor penyebab lainnya antara lain adalah faktor moral dan ekonomi.
Biasanya problem komunikasi ini terjadi pada masa-masa krisis komunikasi yang akan terjadi dalam perjalanan sebuah keluarga. Sebuah organisasi rumah tangga akan melewati fase-fase dalam daur hidupnya, yaitu : (1) fase pembentukan/FORMING, (2) fase pancaroba /STORMING, (3) fase penormaan/NORMING dan (4) fase prestasi/PERFORMING.
Fase pembentukan di awal rumah tangga biasanya komunikasi terjadi untuk tujuan penjajakan dan pengenalan karakter masing-masing suami/istri. Pada fase ini belum ditemukan adanya konflik yang berarti. Pada fase panca roba barulah terjadi penguatan karakter individual suami/istri sehingga komunikasi kerap dijadikan alat untuk pengokohan karakter. Penolakan dari salah satunya akan menyebabkan konflik yang menghebat. Di masa inilah barangkali krisis komunikasi bisa terjadi. Untuk menghindari persoalan, maka diperlukan kesadaran suami/istri bahwa komunikasi adalah juga dilakukan untuk pengokohan keluarga. Apabila berhasil melewati masa krisis pada fase panca roba, maka biasanya keluarga akan memasuki fase penormaan dengan membuat kesefahaman-kesefahaman masing-masing anggota keluarga. Pada fase ini komunikasi benar-benar digunakan untuk pengokohan keluarga. Fase berikutnya adalah fase memetik buah dari keberhasilan membangun komunikasi keluarga yaitu fase berprestasi di mana keluarga sudah mulai memperoleh pencapaian tertentu dalam kehidupan. Pada fase ini komunikasi adalah akselerator atau pemercepat prestasi keluarga.

Fase Utilitas Komunikasi Problem Komunikasi
Forming Pengenalan karakter individu Intensitas komunikasi kurang sehingga karakter ke dua belah pihak tidak semua diketahui Storming Penguatan karakter individu Salah faham hingga dapat menimbulkan penolakan dari salah satu atau kedua belah pihak
Norming Penguatan organisasi/keluarga Intensitas kurang sehingga perlu waktu lebih lama untuk menyepakati norma-norma keluarga Performing Penguatan prestasi Intensitas kurang sehingga prestasi keluarga tidak optimal
Sebagai satu pengetahuan, kita perlu mengetahui bahwa ternyata setiap orang memiliki orientasi komunikasi tersendiri. Memahami orientasi komunikasi seseorang dapat membantu kita memahami bahasa verbal dan non verbal yang ditampilkan. Orientasi komunikasi tersebut adalah :

Orientasi Karakteristik Positif Karakteristik Negatif Tindakan/Aksi(key : what)Cepat bertindak, senang bekerja untuk memperoleh hasil, to the point, pragmatis dsb. Kurang sabar, menerobos aturan Proses/Prosedur(key : how) Hati-hati, mengikuti aturan main, sabar, sistematis, melihat fakta, logis, analisis, strategs dsb. Bertele-tele, birokratis Manusia (key : who)Empati, spontan, sensitif, penuh pengertian, bekerjasama, hangat dsb.Emosional, subyektif Gagasan(key : why)Teoritis, konseptual, inovatif, kreatif, mencari alternatif, imajinatif, kharismatis dsb Tidak realistis, sulit dimengerti, selfish

Pada akhirnya ketika urgensi pengokohan hubungan suami dan istri sudah difahami, maka kita perlu mengetahui beberapa nasehat ajaran Islam dalam hal ini, yaitu :

• Memahami dengan benar tujuan hidup berumah tangga
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya (sakinah), dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih (mawaddah) dan sayang (rahmah). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS 30:21)
• Pembagian tugas yang jelas antara suami dan istri
“Seorang suami adalah pemimpin atas seluruh anggota rumahnya. Seorang istri adalah pemimpin atas rumah suaminya dan anaknya.” (HR Bukhari - Muslim)

• Suami bertanggungjawab atas tarbiyah istrinya
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta`atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS 4/34)
“Allah merahmati laki-laki yang bangun malam kemudian sholat lalu membangunkan istrinya hingga dia sholat, jika ia tidak mau maka ia memerciki wajah istrinya dengan air.” (HR Ahmad, Abu Daud)

• Masing-masing senantiasa memperbaiki kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Allah
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS 3/102)
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.” (QS 65/2-3)
“Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (QS 65/4)

• Membangun rasa saling mempercayai (tsiqoh) antara suami dan istri
Sikap saling mempercayai dan tidak berprasangka buruk antara suami dan isteri adalah fundamen penting dalam menjaga keharmonisam rumah tangga. Allah SWT berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain..” (QS 49/12)
• Memperhatikan penampilan diri untuk masing-masing pasangannya
“Adalah Rosulullah SAW jika hendak masuk ke rumahnya beliau bersiwak” (HR Muslim)
Terhadap kaum wanita Rosulullah melarang berhias kecuali untuk suaminya sendiri, sebagaimana beliau bersabda :

“Perumpamaan wanita yang berhias untuk selain suaminya, adalah bagaikan kegelapan pada hari kiamat, tidak ada cahaya baginya.”

• Saling menghibur diri untuk mengurangi ketegangan
“Segala sesuatu yang di dalamnya tidak ada dzikrullah adalah sia-sia kecuali empat hal : … bercandanya seorang laki-laki terhadap istrinya….” (HR An Nasa’I)

AGENDA 2 : MANAJEMEN EKONOMI KELUARGA

Problem pengokohan keluarga inti yang berikutnya adalah soal perekonomian keluarga. Tidak bisa dipungkiri bahwa kondisi ekonomi keluarga akan mempengaruhi soliditas keluarga. Banyak keluarga yang tidak berprestasi bahkan hancur karena menafikan persoalan ekonomi ini. Pentingnya persoalan ini amat diperhatikan dalam Islam :
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada istrinya dengan cara yang ma`ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.” (QS 2/233)

Rosulullah SAW banyak memuji orang-orang yang bekerja untuk membangun ekonomi keluarga dan membenci orang yang menelantarkan keluarganya :
“Apabila seseorang menafkahkan hartanya untuk keperluan keluarganya hanya dengan mengharapkan pahala maka hal itu akan tercatat sebagai shadaqah baginya.” (HR Bukhari Muslim)
“Barangsiapa merasa letih di malam hari karena bekerja, maka di malam itu ia diampuni.” (HR Ahmad)

“Seseorang itu cukup berdosa bila ia menyia-nyiakan orang yang harus diberinya belanja (keluarganya).” (HR Abu Daud)

Manajemen ekonomi keluarga pada prinsipnya adalah upaya perencanaan, pengelolaan, penggunaan dan pengeontrolan keuangan keluarga sedemikian rupa sehingga mampu membiayai seluruh aktifitas keluarga dalam mencapai tujuan keluarga. Beberapa kaidah praktis dalam manajemen ekonomi keluarga adalah :

Penggalian sumber-sumber pendapatan keluarga
Pelaku utama dalam mencari nafkah keluarga adalah suami sesuai fitrah dan kaidah Al Qur’an. Namun Al Qur’an juga memberi peluang untuk wanita sebagaimana laki-laki mencari rezeki (QS 4:32). Persoalannya adalah pilihan pekerjaan apa yang halal yang sebaiknya dilakukan oleh wanita sebagai istri dalam rangka membantu kepala keluarga dengan tetap menjaga keutuhan rumah tangga. Al Qur’an juga mengisahkan tentang 2 orang wanita yang bekerja membantu orang tua (QS 28/23), Asma ra bekerja merawat kuda suaminya (Zubair ra) dan beberapa sahabiyat juga dibolehkan bekerja bercocok tanam, memberi makan ternak dsb.
Berkaitan dengan penggalian sumber pendapatan keluarga, Rosulullah menyarankan untuk mencoba berdagang.
“Perhatikan olehmu sekalian, sesungguhnya perdagangan itu di dunia ini adalah sembilan dari sepuluh pintu rezeki.” ( HR Ahmad ).
As Syahid Hasan Al Banna menyarankan untuk memiliki usaha mandiri sekalipun kecil sebagai penghasilan sampingan dan sekaligus menjaga kemandirian.
“Hendaklah engkau memiliki usaha ekonomi sekalipun engkau kaya dan upayakan usaha tersebut secara mandiri sekalipun kecil dan cukupkanlah dengan apa yang ada pada dirimu betapapun tingginya kapasitas keilmuanmu.” (Wajibat 15)

Perencanaan keuangan keluarga
Islam menganjurkan umatnya untuk bekerja secara terencana dalam segala hal termasuk dalam mengatur keuangan keluarga. Perencanaan ini dilaksanakan dengan membuat pos-pos pengeluaran rutin (mis. konsumsi, pendidikan, transportasi, sandang, dakwah dll) dan pos pengeluaran temporer (mis. kesehatan, rekreasi dll). Termasuk perencanaan ini adalah menabung sebagaimana pesan Imam Syahid :
“Hendaklah engkau menyimpan sebagian dari penghasilanmu untuk persediaan masa-masa sulit meskipun sedikit dan jangan sekali-kali menyusahkan diri untuk mengejar kemewahan.” (Wajibat 23)

Pembelanjaan keuangan keluarga
Ajaran Islam memberikan rambu mengenai pengeluaran keluarga : tidak boleh boros (mubazir) (QS 17/26-27), tidak boleh besar pasak daripada tiang (yusrif) atau kikir (yaqtur) (QS 25/67), menunaikan zakat/infak/shodaqoh sesuai kadarnya (QS 9/103, 57/7), dan mementingkan hal-hal yang primer (awlayiat) daripada yang sekunder/tersier (kamaliyat) serta menjauhi kemewahan.
“..dan orang-orang yang zalim hanya mementingkan kenikmatan yang mewah yang ada pada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang berdosa.” (QS 11/116)

AGENDA 3 : PENDIDIKAN ANAK

Agenda berikut yang penting adalah pendidikan anak. Pembahasan mengenai hal ini sebenarnya cukup panjang (mis. Dr. Abdullah Nasih Ulwan menulis dalam bukunya Tarbiyatul Awlad). Sebagai pedoman ringkas, berikut beberapa nash umum yang berkaitan dengan pendidikan anak :

1. Apa yang diajarkan pada anak ?
Pendidikan keimanan agar anak memahami tujuan hidup (minhajul hayyah) sedangkan pendidikan keilmuan lainnya ditujukan agar anak menguasai sarana hidup (wasa’ilul hayyah)

2. Bagaimana mendidik anak ?
Pendidikan yang efektif untuk anak adalah dengan memberikan contoh Islami dari orang tua (QS 33/21, 60/4-6) dan dengan menerapkan dialog Islami (QS 37/102)

3. Siapa yang mendidik anak ?
Pada prinsipnya orang tua lebih prioritas dalam mendidik anak terutama ibu karena lebih sering berinteraksi dengan anak.
“Hak seorang anak atas orang tuanya : diberikan nama yang baik, diajarkan Al Kitab, diajarkan berenang, memanah, diberikan rizki yang baik dan dinikahkan ketika telah dewasa.” (HR Al Hakim)
“Ibu adalah madrasah, bila engkau persiapkan dengan baik, maka sama dengan engkau mempersiapkan bangsa yang baik.” (Sya’ir Islam)
Peran guru dibutuhkan dalam rangka membantu peran orang tua yang memiliki keterbatasan (ilmu, waktu dsb). Metode seorang anak belajar pada seorang guru biasa dilakukan oleh para salafus sholeh antara lain kita mengetahui hubungan guru dan murid seperti pada : Imam Malik-Imam Syafii, Imam Syafii-Imam Ahmad, Imam Ibnu Taymiyah-Ibnu Qoyyim dll.

4. Kapan waktu yang tepat mendidik anak ?
Pendidikan anak lebih urgen dilakukan semenjak anak itu masih kecil. Pada usia dini anak lebih mudah untuk dibentuk. Kita mengenal pepatah : belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu, belajar sesudah dewasa bagai mengukir di atas air. Di kalangan salafus sholeh kita mendengar banyak di antara mereka yang sudah dapat menghafal 30 juz Al Qur’an sejak usia 10 tahun bahkan lebih kecil lagi.
Jika ditanya kapan pendidikan itu sebaiknya berakhir, maka jawabannya adalah hingga seseorang itu menemui kematiannya. Prinsip ini dikenal dengan istilah tarbiyah madal hayyah atau long life education.

Wallahu ’alam

Source : http://pks-sukaraja/blogspot.com

Tidak ada komentar: